SERGAI | Bisanews.id | Dalam upaya berjuang mencegah serta mengatasi maraknya aksi kapal dengan alat tangkap pukat trawl, nelayan tradisional Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) menggandeng Aliansi Nelayan Sumatera Utara (ANSU) Kabupaten Sergai dan Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Sumatera Utara (Sumut) serta organisasi nelayan dan lembaga lainnya.
Ungkapan tersebut disampaikan puluhan nelayan tradisional perwakilan dari Kecamatan Pantai Cermin, Kecamatan Perbaungan, Teluk Mengkudu dan Kecamatan Tanjung Beringin, Selasa (1/7/2025) sore di pantai Mangrove Dusun III Desa Sei Nagalawan Kecamatan Perbaungan usai menggelar pertemuan dengan ANSU Kabupaten Sergai dan WALHI Sumut.
Dalam pertemuan tersebut perwakilan nelayan tradisional Sergai mengadukan permasalah maraknya aksi ratusan kapal pukat trawl yang beroperasi di perairan Sergai yang sudah berlangsung bertahun-tahun kepada Ketua ANSU Sergai Irwan Syahrir, Direktur Eksekutif dan Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumut Ryanda Purba dan Jaka Kelana Damanik. Sementara itu menurut mereka, kewenangan pengawasan perairan Kabupaten Sergai berdasarkan aturan menjadi kewenangan Provinsi Sumut.
Perwakilan nelayan tradisional Kecamatan Pantai Cermin Jhon, perwakilan nelayan tradisional Kec. Perbaungan M. Husin, perwakilan nelayan tradisional Kecamatan Teluk Mengkudu M. Syarip, Khairul Marpaung, perwakilan nelayan Kecamatan Tanjung Beringin Elias menyampaikan sejak maraknya kapal pukat trawl beroperasi di perairan Sergai pendapatan tangkapan ikan dan beragam seafood turun drastis hingga 70 persen.
Selain itu lanjut mereka, alat tangkap gurita dan udang sistim rawe milik mereka yang dipasang sore hari dan dilihat pagi hari banyak yang rusak hingga hilang karena ditabrak kapal pukat trawl, meski telah diberi tanda.
” Parahnya mereka beroperasi siang dan malam hari silih berganti, bahkan mereka semakin nekat beroperasi hingga jarak setengah mil dari bibir pantai, kami hanya bisa berupaya menghalau saat melaut , mengingat jumlah mereka terlalu banyak,” imbuh M. Husin seraya menambahkan dampak panjangnya semakin rusaknya ekosistem laut karena sepertinya luput dari pengawasan.
Ditambahkan Khairul Marpaung, mereka rindu di era tahun 2007 hingga 2017 dimana pengawasan perairan laut Sergai melalui Pokwasmas, dimana masyarakat nelayan terlibat pengawasan, sebulan bisa 2 sampai 3 kali patroli, sehingga tidak ada lagi pukat trawl berani beroperasi.
“Tapi sekarang setelah berubahnya aturan, pengawasan laut diambil alih oleh Provinsi, faktanya nyaris ada patroli, sehingga kapal pukat trawl yang didominasi dari Kabupaten Batu Bara terus merajalela yang paling terdampak ya nelayan tradisional,” keluh Khairul Marpaung.
Mereka berharap dan akan berjuang, agar aturan kembali seperti dulu kewenangan pengawasan laut kembali ke Kabupaten/Kota, paling tidak Kabupaten/Kota dilibatkan dalam hal pengawasan, agar laut Sergai terjaga dari kerusakan serta tangkapan nelayan tradisional kembali meningkat.
Untuk itu mereka berharap kepada SNSU Sergai dan WALHI Sumut, serta organisasi nelayan lainnya dapat turut mendampingi mereka dalam perjuangan mengusir pukat trawl yang kondisinya semakin meresahkan dan mengkhawatirkan hingga mengancam kerusakan ekosistem laut.
Ditempat yang sama Direktur Eksekutif WALHI Sumut Ryanda dan Ketua ANSU Sergai Irwan Syahril, pihaknya bersama organisasi nelayan dan lembaga lainnya kedepan akan konsen mendampingi perjuangan nelayan tradisional Sergai.
Ditambahkan Ketua ANSU Sergai saat ini yang merasakan dampak dari aktivitas ratusan kapal pukat trawl tersebut sebanyak 8.000 orang nelayan tradisional di 5 Kecamatan di Sergai yang harus kehilangan pendapatan tangkapan ikan dan seafood hingga 70 persen serta kerusakan dan kehilangan alat tangkap, tanpa pernah terlihat pengawasan atau patroli dari instansi berwenang.
Sebagai langkah lanjut imbuh Ketua ANSU Sergai bersama WALHI Sumut dan lembaga lainnya akan mendampingi perwakilan nelayan tradisional Sergai mengadukan persoalan ini