Museum Negeri Sumut Gelar FGD KKM 2022 Tentang Uis dan Makara

Museum Negeri Sumut Gelar FGD KKM 2022 Tentang Uis dan Makara
Kepala Museum Negeri Sumut, Rachmat Hadi Saputra Harahap, SE sedang memberikan penjelasan tentang Uis dan Makara pada acara FGD KKM 2022 tentang Uis dan Makara, Selasa (12/7/2022), di Rahmat Internasional Wildlife Museum & Galery. (Foto: Museum Negeri Sumut/Bisanews).

MEDAN | Bisanews.id | Kepala UPT Museum Negeri Sumatera Utara (Sumut), Rachmat Hadi Saputra Harahap, SE secara resmi membuka kegiatan Forum Grup Diskution (FGD) Kajian Koleksi Museum (KKM) 2022 tentang Uis dan Makara, digelar Selasa (12/7/2022), di Rahmat Internasional Wildlife Museum & Galery.

Dalam sambutannya Rachmat mengatakan Makara adalah arca berbentuk hewan mitos yang konon hidup di Sungai Gangga, India. Biasanya Makara diletakkan di ujung pipi tangga bangunan candi.

Makara dari Biara Sitopayan, Kabupaten Padang Lawas Utara merupakan koleksi pertama Museum Negeri Sumut. Peletakannya dilakukan Presiden Soekarno pada 1954 lalu.

“Adapun Uis adalah wastra dari Tanah Karo dengan beragam variasi motif dan makna yang kaya. Sungguh disayangkan kedua jenis objek yang memiliki nilai tinggi tersebut masih jarang diangkat dan dikenali masyarakat”, terang Rachmat.

Museum, kata mantan Kepala UPT Taman Budaya itu, adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang mengumpulkan, merawat, meneliti, mengomunikasikan dan memamerkan warisan budaya dan lingkungannya yang bersifat kebendaan dan tak benda untuk tujuan pengkajian, pendidikan dan kesenangan.

Defenisi museum menurut icon ini menunjukkan bahwa salah satu tugas penting museum adalah meneliti koleksi-koleksinya.

“Pada tahun 2022 ini Museum Negeri Sumut melakukan kajian koleksi terhadap Uis dan Makara. Harapannya, selain dapat memperkaya data mengenai koleksi terkait, museum juga berkeinginan, kajian terhadap kedua objek ini akan membuka jalan untuk mengenalkannya kepada masyarakat luas,” sambungnya.

Selanjutnya, Rachmat juga mengatakan pihaknya mengadakan focus group diskussion tersebut dengan harapan akan dapat semakin menyempurnakan kajian yang dilakukan terhadap Uis dan Makara.

Diskusi menghadirkan dua nara sumber, yakni Drs. Yoe Anto Ginting Jawak dan Lolita Refani Lumban Tobing, S. Hum, serta dimoderatori Imam Mahdi Pane, S. Pd.

Baca Juga:  Taman Cadika, Wow Keren Kali!

Lolita dalam makalahnya mengatakan, sekitar 1980-an masih ada orang Karo yang menenun Uis, namun di masa kini tidak terlihat lagi.

“Di tahun tersebut kami masih menjumpai penenun Uis. Tapi saat ini sepertinya saya sudah tidak menemui lagi ada penenun Uis di Tanah Karo, ” ujar Lolita.

Mengutip L. Tarigan (2002), awalnya bahan-bahan yang mereka gunakan adalah kambayat (kapas) yang ditanam masyarakat, kemudian dipintal menjadi benang.

“Untuk mewarnai benang tersebut dipergunakan air (lau) abu, kapur, kurung gering, (kunyit), dan tetap berasal dari tanaman yang bernama Sarap,” imbuhnya.

Hadir dalam acara tersebut Kepala Museum Perkebunan Indonesia, Lukas Pertanda Koestoro, Ketut Wiradnyana, para ketua prodi dari berbagai universitas di Kota Medan, para pelestari dan komunitas sejarah dan budaya, serta mahasiswa.

Writer: AHFEditor: Abdul Muis