JAKARTA | Bisanews.id | Pidato Presiden Pertama Republik Indonesia (RI) Soekarno pada Konferensi Asia Afrika (KAA) yang diselenggarakan 18-24 April 1955 di Bandung menunjukkan komitmen Indonesia dalam upaya melawan kolonialisme di Asia Afrika. Buah pikiran Soekarno itu telah membuka cakrawala pemikiran baru di dunia.
Sejak diajukan oleh pemerintah maupun negara sahabat pada 2018, akhirnya tiga arsip bersejarah Indonesia ditetapkan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO sebagai Memory of The World (MoW) atau arsip warisan dunia.
MoW adalah salah satu program UNESCO berupa pelestarian ingatan kolektif dunia yang didorong dari kesadaran akan perawatan dan akses terhadap warisan dokumenter di berbagai belahan dunia.
Sampai saat ini, Indonesia berhasil mendapat pengakuan dunia untuk naskah La Galigo, naskah Nagarakretagama, naskah Babad Diponegoro, arsip Konferensi Asia Afrika, arsip restorasi Borobudur, dokumentasi peristiwa tsunami Samudra Hindia, dan naskah cerita Panji.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan, dari 11 dokumen sejarah milik Indonesia yang saat ini sudah masuk dalam daftar Memory of the World, salah satunya adalah naskah pidato Presiden pertama RI Soekarno pada sidang Majelis Umum PBB tahun 1960 yang berjudul “To Build The World a New”.
“Di antara ratusan dokumen yang digolongkan sebagai Memory of the World atau arsip Warisan Dunia oleh UNESCO, terdapat 11 dokumen milik Indonesia,” ungkap Presiden Jokowi dalam unggahan di Instagram resminya, @jokowi pada Kamis (25/5/2023).
Dijelaskan, Dewan Eksekutif UNESCO dalam sidang pada 10-24 Mei 2023 telah menetapkan tiga arsip dari Indonesia, yaitu Pidato Ir Soekarno “To Build The World a New”, arsip pertemuan pertama Gerakan Non Blok (usulan bersama Aljazair, Mesir, India, Indonesia, dan Serbia) dan Hikajat Aceh (usulan bersama Indonesia dan Belanda).
Menurut Kepala Negara, arsip-arsip dalam warisan dunia ini adalah milik semua warga dunia. Oleh karena itu, harus sepenuhnya dilestarikan dan dilindungi, serta dapat diakses oleh semua orang tanpa hambatan.
Dewan Pakar Indonesia untuk Memory of The World UNESCO Rieke Diah Pitaloka yang juga merupakan Duta Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menilai, ada tiga arsip penting yang pernah disampaikan Presiden Soekarno.
Ketiga arsip itu bahkan disebut sebagai Tiga Tinta Emas Abad 20. “Arsip Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, 1955, arsip Gerakan Non-Blok Pertama (GNB I) di Beograd, 1961. Ada juga arsip Pidato Presiden ke-1 RI Ir Soekarno di Sidang PBB, New York, 1960,” terang Rieke, Kamis (24/5/2023).
Ketiga arsip tersebut dinilai sebagai kapital simbolis Indonesia untuk memosisikan diri dalam percaturan geopolitik sekarang dan masa depan. Ketiganya, menurut Rieke Diah Pitaloka, juga menjadi pengingat bagi setiap bangsa untuk ada dalam prinsip politik para pendiri bangsa.
“Bebas aktif dan defensif aktif, sebesar-besarnya bagi kepentingan nasional Indonesia. Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat yang terlibat dalam perjuangan perdamaian dunia,” jelas anggota DPR RI tersebut.
Pidato pertama Sukarno yang diajukan LIPI, ANRI, dan Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) pada 2018 berjudul “Unity in Diversity Asia Africa”. Pidato tersebut diucapkan Soekarno pada Konferensi Asia Afrika (KAA) yang diselenggarakan 18–24 April 1955 di Bandung.
Pidato tersebut menunjukkan komitmen Indonesia dalam upaya melawan kolonialisme di Asia Afrika. Presiden pertama RI itu telah membuka cakrawala pemikiran baru di dunia. Pergerakan negara-negara Asia dan Afrika ini tidak lepas dari peran Soekarno.
Selain pidato dalam Konferensi Asia Afrika, pidato-pidato lain Bung Karno juga dinilai telah memberikan perubahan signifikan dalam percaturan politik dunia. Pidato berjudul “To Build The World a New” yang disampaikan pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1960 merupakan gagasan Soekarno yang menyentak dunia. Ia menawarkan Pancasila sebagai ideologi dunia.
Kemudian Soekarno juga membacakan pidato berjudul “New Emerging Forces” pada Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok di Beograd, Serbia, tahun 1961. “Pidato-pidato tersebut telah membuka cakrawala pemikiran baru di dunia,” ungkap Plt. Kepala LIPI Bambang Subiyanto, saat menerangkan pengajuan naskah ini ke UNESCO pada April 2018.