JAKARTA| Bisanews.id | Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan, penerbitan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 821/5492/SJ tertanggal 14 September 2022 bertujuan agar pengelolaan pembinaan kepegawaian di daerah berjalan lebih efektif dan efisien.
Kemendagri meluruskan anggapan yang menyebutkan edaran tersebut memberikan izin kepada penjabat (Pj), pelaksana tugas (Plt), maupun penjabat sementara (Pjs) kepala daerah untuk memutasi maupun memberhentikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) begitu saja.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Benni Irwan dalam keterangannya, Minggu (18/9/2022), di Jakarta mengatakan, SE tersebut berisi dua poin pokok dalam mendukung pembinaan kepegawaian di daerah agar lebih efektif dan efisien.
Pertama, katanya, Mendagri memberikan izin kepada Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah untuk menjatuhkan sanksi atau hukuman disiplin bagi PNS yang tersangkut kasus korupsi dan pelanggaran disiplin berat. Hal itu sejalan dengan ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 bahwa kepala daerah harus menetapkan penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tersangkut korupsi.
Benni mencontohkan, apabila ada seorang ASN yang ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi, maka bupati akan melakukan pemberhentian sementara. Namun, hal itu tidak bisa langsung dilakukan, karena harus ada izin Mendagri terlebih dahulu. Sedangkan amanat PP Nomor 94 Tahun 2021 pegawai yang bersangkutan harus segera diberhentikan sementara.
“Sehingga dengan izin yang tersebut dalam SE, ASN yang melakukan pelanggaran dapat segera diberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku,” terang Benni.
Poin kedua, lanjut Benni, Mendagri memberikan izin kepada Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah yang akan melepas dan menerima ASN yang mengusulkan pindah status kepegawaian antardaerah (mutasi antardaerah), maupun antarinstansi (mutasi antarinstansi). Dengan demikian, Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah tidak perlu lagi mengajukan permohonan persetujuan tertulis sebagaimana yang diatur sebelumnya. Upaya ini dilakukan agar proses pindah status kepegawaian berjalan lebih efektif dan efisien.
Sebagai contoh, ujarnya, ketika seorang Pj bupati akan melepas ASN-nya pindah ke kabupaten lain. Kedua kepala daerah, baik yang melepas maupun menerima, harus mendapatkan izin Mendagri lebih dulu sebelum menandatangani surat melepas dan menerima pegawai tersebut.
Padahal, tambahnya, pada tahap selanjutnya, mutasi antardaerah tersebut akan tetap diproses Direktorat Jenderal (Ditjen) Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Dengan demikian, untuk mempercepat proses pelayanan mutasi, maka melalui penandatanganan izin melepas dan izin menerima tersebut diberikan.
“Pada dasarnya SE itu hanya memberikan persetujuan amat terbatas, hanya 2 urusan di atas kepada Pj kepala daerah untuk kecepatan dan kelancaran birokrasi pembinaan kepegawaian, dan sangat jauh berbeda dengan kewenangan kepala daerah definitif,” ujar Benni.
Namun, lanjut Benni, untuk mutasi pejabat internal daerah, seperti pengisian jabatan tinggi pratama dan administrator, Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah tetap harus mendapatkan izin tertulis dari Mendagri.
“Kalau tidak dapat izin dari Mendagri, maka kebijakan tersebut tidak dapat dilakukan oleh daerah,” tegasnya.
Selanjutnya, setelah proses pembinaan kepegawaian tersebut dilaksanakan, tuturnya, maka Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah tetap harus melaporkan kepada Mendagri paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak kebijakan tersebut diambil.





