JAKARTA | Bisanews.id | Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) menggelar webinar mingguan bertajuk ‘Menggagas Pilkada Tak Langsung: Melalui DPRD?’, Sabtu (3/9/2022).
Webinar dihadiri Ketua Umum MIPI Bahtiar Baharuddin dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Baharudin Tahir. Selain itu hadir sebagai narasumber Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tanjung, Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto, Ketua Bidang Pengembangan Keilmuan dan Kerja Sama MIPI Muhadam Labolo, dan Pengamat Politk Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti.

Bahtiar Baharuddin dalam sambutannya mengungkapkan, pemilihan umum (pemilu) langsung semakin membutuhkan biaya tinggi. Sedangkan mayoritas dari calon kepala daerah yang mengeluarkan biaya besar dan terjerat kasus korupsi sekitar 80% berlatar belakang pendidikan sarjana.
“Itu artinya pendidikan yang tinggi tidak bisa membendung prilaku korupsi ini. Sebab memang biaya pemilunya besar. Apakah memang pemilu langsung ini seburuk itu? Apakah sistem ini akan kita evaluasi? Tentu MIPI berkepentingan melakukan kajian-kajian seperti ini untuk membuka peluang bagi pikiran-pikiran baru,” terang Bahtiar.
Melengkapi Bahtiar, Muhadam Labolo berpendapat mekanisme pemilu tidak serta merta adalah sistem. Baginya sistem yang dianut Indonesia adalah sistem demokrasi. Di dalam konstitusi pasal 18 ayat 4 jelas mengatakan gubernur, bupati dan wali kota dipilih secara demokratis.
“Klausul tersebut tidak serta merta memberikan kita mekanisme apakah langsung atau tidak langsung. Kurang lebih sudah 50 tahun kurang setahun kita telah melakukan pilkada (pemilihan kepala daerah) dengan mekanisme secara tidak langsung. Baru setelah tahun 2005 kita mempraktekkan pilkada langsung,” kata Muhadam.
Muhadam juga mengkritik mekanisme dropping Pj kepala daerah dari pusat. Menurutnya, pembuat kebijakan itu membayangkan kabupaten/kota dan provinsi adalah daerah administrasi.
“Padahal ciri daerah otonom itu adalah kepala eksekutifnya dipilih, councilnya juga dipilih. Tetapi apakah salah pasal 201 UU 10 2016 tentang Pilkada? Tidak keliru Kemendagri. Yang salah adalah pembuat pasal itu yang membayangkan bahwa daerah itu wilayah administrasi,” jelasnya.
Sebagai Ketua Bidang Pengembangan Keilmuan MIPI, Muhadam menuturkan, baik mekanisme pilkada langsung maupun tidak langsung, sama sama berpeluang terjadinya money politics.
“Tetapi pertanyaannya, manakah dari kedua mekanisme itu yang bisa dikontrol? Pendapat saya adalah yang tidak langsung lebih bisa dikendalikan. Sebab PPATK bisa mengontrol 20-50 orang di DPRD, tapi tidak mungkin mengontrol semua rakyat yang ikut pemilihan,” tuturnya.





