MEDAN | Bisanews.id | Pengamat Hukum Sangap Surbakti SH MH angkat bicara soal kasus Adelin Lis yang divonis melakukan pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara.
“Kasus yang menimpa Adelin Lis mantan Direktur Keuangan/Umum PT KeangNam Development Indonesia merupakan preseden buruk hukum Indonesia. Sebab, yang bersangkutan menjadi korban ketidakadilan, menjalani hukuman yang tidak sepantasnya ia terima. Karena itu, Mahkamah Agung, bahkan Presiden, pantas memberi perhatian khusus, meluluskan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya beserta pihak keluarga,” kata Sangap, saat dihubungi Senin (4/9/2023).
Sangap, putra asal Sumut yang berkiprah di Jakarta, menegaskan, vonis yang dijatuhkan pada Adelin Lis banyak menimbulkan kejanggalan.
Karena, menurutnya, Adelin Lis yang sempat divonis bebas pada 2007, akhirnya dihukum 10 tahun penjara oleh PN Medan setelah Jaksa melakukan kasasi. Ia dinyatakan bersalah melakukan penebangan kayu di luar blok Rencana Kerja Tahunan (RKT). Padahal, lokasi penebangan itu masih dalam areal izin milik HPH/IUPHHK PT KeangNam.
Menurut Sangap, vonis terhadap Adelin Lis dengan sangkaan melakukan penebangan liar, jelas keliru. Sebab, yang bersangkutan adalah Direktur Keuangan yang tugasnya sebatas mengatur lalu lintas keuangan dan cash flow perusahaan yang bertanggung jawab kepada Dirut perusahaan, bukan soal tebang menebang pohon atau lahan.
Sementara, lanjutnya, organ/perseorangan di tubuh perusahaan yang berhubungan dengan lahan, malah terbebas dari hukuman meski awalnya sempat menjalani pemeriksaan.
Sebut saja, ujarnya, seperti Manager Camp dinyatakan bebas oleh PN Madina, karena dinilai bukan perkara pidana, melainkan hanya pelanggaran/sanksi administrasi saja.
Demikian juga, tambahnya, terhadap Direktur Produksi/Perencanaan Washington Pane dinyatakan bebas oleh PN Madina, dengan alasan yang sama seperti Manager Camp.
Dia menjelaskan, terhadap Dirut Ir Oscar A Sipayung hanya sampai proses penyidikan. Sementara kepada Komisaris Ir Harsono justru tidak ada penyelidikan sama sekali. Sedangkan Komisaris Utama Adenan Lis bebas karena mendapat SP3 dari Poldasu.
Sisi anehnya lagi dalam kasus ini, tambah Sangap, vonis terhadap Adelin Lis adalah penebangan kayu di luar blok RKT.
Sangap berpendapat, vonis yang dituduhkan ini tidak pantas menjadikan Adelin Lis harus menjalani hukuman pidana selama 10 tahun.
Sebab, menurutnya, lokasi penebangan itu masih dalam areal izin milik HPH/IUPHHK PT KeangNam. Artinya, yang dilakukan bukan pembalakan liar atau illegal logging.
Ditegaskannya, mantan Menteri Kehutanan MS Kaban yang sempat menjadi saksi dalam kasus ini, dan ia juga pernah berbicara dalam salah satu podcast terkait hal ini, ditegaskan bahwa yang disebut illegal logging adalah penebangan yang dilakukan tanpa izin dari pemerintah.
Sementara, ujarnya, PT
KeangNam Development Indonesia adalah perusahaan berpatungan dengan BUMN PT Inhutani IV yang mendapat izin resmi, dan juga memiliki izin memiliki penebangan dari pemerintah.
“Jadi, kalaupun ada kesalahan seperti amar putusan, tidak lebih dari pada kesalahan administrasi”, paparnya.
Ketika disinggung apakah vonis terhadap Adelin Lis
semata-mata karena bentuk kekesalan atau kedongkolan aparat hukum karena menilai terpidana sebelumnya sengaja melarikan diri dan sempat dinyatakan DPO, menurut Sangap hal tersebut juga sangat tidak pantas untuk menjadi dasar atas alasan menjatuhkan hukuman.
“Kalau hal ini benar dijadikan sebagai alasan, justru lebih mencoreng harkat dan martabat hukum di tanah air. Sebab, seseorang dinyatakan bersalah harus sesuai dengan tindak kejahatannya, dan dihukum berdasarkan pasal maupun aturan yang berlaku,” ujarnya.
Sebab itu, Sangap menilai, demi tegaknya marwah dan wibawa hukum, para penegak hukum diharapkan menerima PK yang telah diajukan pihak Adelin.
Sebab, menurutnya, memperbaiki kesalahan untuk kebenaran bukan hal memalukan, melainkan perbuatan mulia, sehingga di masa mendatang kasus ini tidak menjadi preseden buruk bagi hukum di Indonesia.